Kadang ada orang yang bilang intuisi itu suara hati. Sah-sah aja, meskipun agak aneh, gimana caranya liver (alias hati) bisa berbicara. Tapi ini cuma kiasan, ya boleh-boleh aja lah. Hehehe... Saya pakai kata "intuisi" supaya lebih netral. Karena kadang, intuisi ini tidak ada hubungannya dengan "kebaikan". Kalau suara hati biasanya kan soal "kebaikan" dan "kebajikan". Ada juga yang bilang itu firasat. Sejujurnya, saya sendiri gak bisa bedain mana intuisi, mana suara hati, mana firasat. Yang jelas, ini kayak suara-suara dan pemikiran yang simpang siur dalam diri saya.

Dalam menjalani hidup yang kadang buat saya aneh (gimana gak aneh, kenapa saya jadi saya aja saya gak paham kok...) saya sering mengalami semacam konflik batin. Kalau ada suatu kejadian, sebagian diri saya bilang lakukan, sebagian lagi bilang nanti, sebagian lagi bilang yang lain. Kalau sudah begini, serignnya saya memilih pilihan terenak, yang sebenernya saya sendiri tau konsekuensinya nanti tidak enak.

Beberapa hari yang lalu, ayah dari teman saya meninggal. Dia adalah pelukis yang cukup istimewa buat saya. Dia bukan pelukis terkenal seperti Basuki Abdullah, tapi orang-orang di sekitarnya pasti tau karya-karya yang dia hasilkan. Saya panggil dia Om G. Om G ini pelukis aliran realis. Lukisannya bisa mirip banget dengan foto. Tapi, tetap akan terlihat sentuhan pelukisnya. Gambarannya, beberapa ilustrasi di web ini dihasilkan lewat kecerdasan buatan (AI). Nah, lukisan dia, bisa dibilang mirip seperti hasil lukisan AI.

Pernah saya minta dia melukis bunga anggrek catleya. Saya beri fotonya, dan beri brief mana yang harus ditonjolkan dan bagian mana Om G boleh berkreasi. Hasilnya luar biasa. Lukisannya seperti bunga anggrek 3 D, di latar belakang pohon, dengan latar belakang gelap. Seolah ini bunga yang terang dan indah di sekitar kegelapan. Bunganya sendiri sangat terang, dengan warna kuning dan merah menyolok. Saya pernah tanya, kenapa latar nya gelap, kata Om G, itu ciri khas Om G, yang menggambarkan hidupnya yang lagi gelap. Lukisan ini saya berikan ke Ibu saya sebagai kado ulang tahun.

Ada satu lukisan lagi, yaitu lukisan burung kolibri. Saya memang suka alam, jadi saya ordernya lukisan-lukisan bertema alam. Kenapa burung kolibri? Karena burung ini istimewa, dia bisa terbang stasioner seperti helikopter. Lukisan ini istimewa, karena sayap yang mengepak ratusan kali per detik bisa ditampilkan sempurna oleh Om G. Lukisannya menggambarkan burung kolibri yang sedang terbang statis sambil menghisap bunga dengan latar belakang pemandangan gunung. Sekali lagi latarnya agak gelap, sedangkan burung dan bunganya kontras dan terang.

Dua kali mendapat lukisan dengan latar gelap, membuat saya mengorek hidupnya Om G. Ternyata, walaupun dia banyak membuat lukisan keren, dia kesulitan secara keuangan. Itu kenapa latarnya gelap. Setelah cerita sana sini, saya akhirnya punya ide dan niat untuk membuatkan dia pameran lukisan tunggal. Ini terinspirasi dari guru lukisnya yang sudah meninggal, dan rumahnya ada di samping rumah orang tua saya. Gurunya ini luar biasa kaya. Nasihat dari bapak saya, karena lukisannya bagus, maka dijual mahal. Jadilah sang guru ini dapat banyak duit dari pameran tunggal.

Kata Om G, untuk bikin pameran tunggal lukisan, setidaknya butuh 30 lukisan. Idealnya ada 50 lukisan. Kami yakin, lukisan dia bisa dijual ratusan juta rupiah per lukisan. Masalahnya, dia tidak ada modal untuk membuat lukisan. Niat saya, saya akan order lukisan dia satu per satu, lalu setelah terkumpul sekitar 30 saya akan buat kan pameran tunggal untuk dia. Hasilnya dibagi dua.

Modal melukis itu gak seberapa sebenarnya. Kanvas, cat, dan bingkai bisa dapat dibawah 1 juta. Yang jadi soal, Om G ini makin lama kasih harga ke saya makin tinggi. Modal saya gak cukup. Mana proyek saya lagi mandek. Jadilah rencana itu tertunda. Dan... beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar kalau Om G meninggal. Seandainya, saya setiap bulan order 1 lukisan saja, mestinya sekarang sudah bisa pameran tunggal dan dia tidak meninggal. Kok bisa? Karena diduga dia meninggal karena serangan jantung. Pemicunya, saya sangat yakin karena stress gak ada duit. Keyakinan saya semakin dikuatkan oleh cerita yang saya kumpulkan dari teman saya (anaknya) dan keluarganya yang lain.

Sebenarnya, saya sempat punya pemikiran (atau intuisi?) untuk order lukisan yang kecil-kecil saja, sesuai kemampuan saya. Tapi saya tidak melakukan. Saya pilih pasrah dengan idealisme Om G kalau lukisan itu ukurannya harus agak gede. Menyesal? Iya. Kenapa saya gak ikutin intuisi saya untuk bertindak dengan ide yang lebih progresif. Ini bukan pertama kali.

Pernah saya membuat sebuah project seorang penjahit. Tidak terkenal, tapi jago. Sampai dia meninggal, saya tidak melakukan. Pemikiran di otak saya terlalu idealis. Padahal sudah ada intuisi untuk melakukan dengan cara lebih sederhana. Saya yakin, penjahit ini meninggal karena kelaparan. Ketika covid, order dia terhenti. Menyesal? Saya menyesal karena tidak mengikuti intuisi dan kata hati saya.

Dua kali kejadian ini, membuat saya makin sadar, kalau intuisi bisa membuat hidup ke arah lebih baik. Dan lebih hebatnya, bisa menyelamatkan orang lain. Jadi, sekarang, kalau ada kesempatan, saya akan coba follow up dan wujudkan sebisa mungkin.

Jangan melakukan kesalahan yang sama dengan saya. Kalau sudah pernah, ayuk, bangun.