Topik soal duit ini selalu menggoda buat saya tulis. Gara-gara duit, orang bisa jadi jahat — dan bisa juga jadi baik. Ada yang bekerja keras demi uang, tapi gak sedikit yang menghambakan diri ke uang. Padahal, uang itu cuma alat. Sama seperti obeng, tang, pisau, talenan, atau palu. Semuanya tergantung siapa yang memegangnya.
Tentang Gengsi dan Uang
Saya sering menulis tentang saudara saya yang kelilit utang karena urusan uang. Kalau ditelusuri, akar masalahnya sederhana: ingin terlihat seperti orang lain.
Pengen punya usaha, tapi pengen instan. Masukin duit puluhan juta ke bisnis yang gak jelas, lalu ketipu.
Pengen terlihat “kelas atas” karena tinggal di kota besar, sampai-sampai uang sekolah anak ditilep demi ulang tahun pakai badut — padahal anaknya gak minta apa-apa. Semua demi gengsi yang sudah terlanjur diumbar ke teman-temannya.
Gengsi memang penyakit yang gak kelihatan, tapi efeknya nyata. Demi terlihat mampu, banyak yang akhirnya berhutang dan berbohong.
Ketika Uang Jadi Alat Menjatuhkan
Masalah uang juga muncul di tempat usaha saya. Saya punya usaha kantin kecil. Di minggu pertama, penjualan naik pesat. Tapi minggu berikutnya, anjlok drastis. Setelah saya selidiki, ternyata salah satu karyawan saya diduga dibayar kantin sebelah supaya gak nawarin dagangan saya ke pelanggan.
Lucu tapi nyebelin, kan?
Belum cukup di situ. Saya berbagi tempat dengan tukang bakso. Saya jualan minuman, dia jualan bakso. Tapi entah kenapa, orang ini nyinyir banget. Terasa banget dia pengen saya gulung tikar, biar bisa nguasain tempat. Padahal tempat itu atas nama saya, deposit juga saya yang bayar. Dia datang belakangan, cuma ikut sewa separuh, tapi lagaknya seperti pemilik.
Teman yang Kabur Karena Duit
Ada juga teman yang kabur bawa duit kas kantin. Jumlahnya gak seberapa, tapi tetap aja, rasanya nyesek. Tapi ya sudah — saya percaya, kalau saya dizalimi, artinya rezeki besar sedang dalam perjalanan. Entah kenapa, hukum semesta itu sering banget kejadian.
Duit, Gengsi, dan Kekuasaan
Duit memang bisa membawa gengsi. Dan kalau kita gak kuat nahan gengsi, kita bisa saling menjatuhkan. Padahal, kalau kita menjatuhkan orang lain, kita ikut jatuh. Sebaliknya, kalau kita mengangkat orang lain, kita juga ikut terangkat.
Masalahnya, di dunia ini banyak yang lupa bahwa uang itu cuma alat tukar, bukan penentu nilai diri.
Dunia Pun Berebut Uang
Gara-gara duit juga, banyak negara perang. Baru-baru ini saya dengar kabar absurd: Presiden Ukraina, Zelensky, katanya bersedia memberikan sebagian wilayahnya ke Rusia demi pembebasan warga Amerika yang ditahan Rusia karena narkoba.
Bayangin, presiden satu negara menyerahkan tanah airnya demi tawanan negara lain. Saya gak dukung siapa pun, tapi yang seperti ini jelas gila. Saya yakin, ada “imbal balik” besar di balik keputusan itu. Uang, fasilitas, atau janji politik — semuanya berputar di lingkar yang sama.
Belum sampai dua jam, saya dengar kabar lain: Amerika mau ambil alih Gaza yang sudah hancur-lebur. Katanya untuk membangun kembali dan menciptakan lapangan kerja. Kedengarannya indah, tapi buat siapa? Penduduk Gaza? Atau kepentingan ekonomi mereka sendiri?
Sementara di Amerika masih banyak gelandangan dan rakyat kecil yang butuh bantuan. Tapi uang pajak mereka malah dipakai buat membangun negara lain. Akarnya tetap sama: duit.
Duit, Ujian, dan Jalan Lurus
Jadi, duit memang perkara besar. Karena duit bisa ditukar dengan banyak hal. Bisa beli kenyamanan, kekuasaan, bahkan kehormatan — kalau kita mau menjualnya.
Tapi ingat: kalau kita sudah mendewakan duit, hidup kita pasti miring.
Kalau kita berjuang untuk tetap lurus, uang akan datang sendiri, tanpa harus kita kejar mati-matian.
Awalnya mungkin sulit, karena itu ujian. Tapi kalau bisa lulus, hasilnya sepadan.
Dah ah, mau kerja dulu. Ada dua proyek menanti. Lumayan, kalau beres bisa dapat seratus jutaan. Tapi yang paling penting, bukan jumlahnya — tapi cara dapetinnya.
